Barongan harimau berhias bulu burung merak yang tengah mengembang terus berputar-putar. Terkadang bulu-bulu itu seperti dikibas-kibaskan. Di belakangnya, ada sepasukan prajurit berkuda (jathil) yang seolah sedang berangkat perang. Tampak pula penari topeng pujangganong, penari kelana sewandana, dan penabuh alat-alat gamelan.
Sementara berjalan di depan laksana pemimpin adalah para warok; laki-laki berbadan gempal berseragam hitam dengan bagian dada terbuka. Wajahnya sangar, dengan kumis dan jambang yang lebat.
Mereka berjalan beriringan sambil menari dengan lincah mengikuti suara gamelan dan teriakan-teriakan “Hok’e…hok’e…Haaaaa..”
Begitulah gambaran iring-iringan pertunjukan reog (kadang ditulis reyog, ejaan lama), kesenian tradisional khas Ponorogo, Jawa Timur. Kendati reog juga eksis di beberapa wilayah lain di Jawa Timur, Ponorogo dianggap sebagai kota asal kesenian reog. Tak heran jika Ponorogo dikenal dengan julukan Kota Reog atau Bumi Reog.
Reog Ponorogo adalah bentuk kesenian yang tumbuh berabad-abad lalu. Menurut Margaret J. Kartomi dalam “Performance, Music and Meaning of Réyog Ponorogo” di jurnal Indonesia No. 22, Oktober 1976, kata “reyog” mungkin berasal dari kata “angreyok” yang ditulis pujangga Prapanca dalam Nagarakertagama. “Angreyok” berkaitan dengan dorongan semangat prajurit, pertunjukan tari reog, perang-perangan, dan mungkin berhubungan dengan pengetahuan militer kuno.
“Meskipun dapat dipastikan bahwa sebagian besar elemen dari reyog Ponorogo memang sudah sangat tua, rujukan paling awal yang diketahui tentang bentuk-bentuk seni yang menyerupai itu terkandung dalam Serat Cabolang, sebuah tembang yang mungkin ditulis di Surakarta pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19,” catat Kartomi.
Serat Cabolang antara lain mengisahkan pengembaraan Cabolang, putra seorang kiai, di Ponorogo. Dia menyaksikan dan ambil bagian dalam sebuah pertunjukan yang mengisi acara sunatan. Pertunjukan itu dimeriahkan 20 penari jaran kepang, lima gendruwon (sebutan lain Pujangganong) –semuanya warok– dengan tiga anak laki-laki kemayu (jathil) di tengah. Pertunjukan diiringi orkes srunen yang terdiri dari slomprit, angklung, kendang, kenong, dan kempul.
Kesenian reog bertahan melintasi waktu. Beberapa penyesuaian dilakukan sesuai perkembangan zaman. Jathil, misalnya, yang semula ditarikan oleh gemblak, lelaki berparas ayu, digantikan penari putri. Gerakannya pun menjadi lebih halus, lincah, dan feminin.
Karena kesenian berusia tua, asal-usul reog Ponorogo punya banyak versi. Ada yang mengaitkannya dengan kepercayaan animisme mengenai adanya roh penjaga dan pelindung suatu wilayah. Karena Ponorogo masih hutan belantara, wujudnya adalah roh harimau. Masyarakat juga meyakini roh harimau mampu mengusir roh jahat atau menolak bala (mengusir wabah penyakit). Untuk mendatangkannya, mereka melakukan upacara adat dengan mengenakan topeng sambal menari. Di kemudian tradisi ini diabadikan dalam bentuk kesenian reog.
Selain itu, ada beragam versi asal-usul reog Ponorogo berlatar kerajaan. Ada dua versi yang popular. Pertama, versi Wengker. Menceritakan Ki Ageng Kutu (Demang Suryongalam), abdi Kerajaan Majapahit, mendirikan padepokan di Wengker serta menciptakan kesenian reog sebagai sindiran dan perlawanan kepada Raja Brawijaya V. Kedua, versi Bantarangin. Mengisahkan lamaran Kelana Sewandana, raja Bantarangin, kepada putri Kediri, Dewi Sanggalangit. Salah satu syarat lamaran adalah dibuatkan gamelan model baru dan manusia berkepala harimau.
“Dua versi kerajaan tersebut mempunyai konsekuensi terhadap tafsir seni drama para pelaku seni reyog Ponorogo,” catat Jusuf Harsono dalam “Hegemoni Negara terhadap Seni Reyog Ponorogo” di jurnal Aristo Vol. 7 No. 2, Juli 2017.
Ada dua ragam bentuk reog Ponorogo yang dikenal saat ini, yakni Reog Obyog dan Reog Festival. Reog obyog, yang hidup di pedesaan, sering pentas di pelataran atau jalan tanpa mengikuti pakem tertentu. Biasanya mengisi acara hajatan, bersih desa, hingga pementasan semata untuk menghibur. Sedangkan Reog Festival sudah mengalami modifikasi dan ditampilkan sesuai pakem dalam acara tahunan Festival Reog yang diadakan Pemerintah Kota Ponorogo sejak 1997.
“Masing-masing ragam memiliki ciri atau kekhasan, terutama terletak pada aspek seni pertunjukan atau pementasannya,” kata Rido Kurnianto dalam Seni Reyog Ponorogo.
Kendati demikian, dari segi perangkat umumnya sama. Ada perangkat barongan yang terdiri dari dadak merak dan caplokan. Dadak merak merupakan bagian atas barongan terbuat dari bulu-bulu burung merak. Sedangkan caplokan merupakan bagian bawah barongan terbuat dari kulit harimau. Perangkat gamelan meliputi kendang, ketipung, ketuk, kenong, kempul (gong), angklung, dan slompret. Sementara busananya meliputi busana warok tua, busana warok muda, busana jatil, busana pujangganong, dan busana kelana sewandana.
Perkembangan reog Ponorogo cukup menggembirakan. Ia menjadi media pembelajaran siswa sekolah dasar hingga menengah atas. Muncul pula “reog santri” di kalangan pesantren yang diwarnai simbol dan nilai-nilai islami.
Menurut Rido, seni reog Ponorogo bukan hanya bernilai seni atau estetika, tapi juga mengandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai itu di antaranya budi pekerti mulia sebagaimana disimbolkan melalui burung merak, keberanian membela kebenaran (harimau), patriotisme/kepahlawanan (tari jathil), optimisme (tari pujangganong), dan kepemimpinan (tari kelana sewandana).
Hingga kini masyarakat Ponorogo terus melestarikan kesenian reog sebagai warisan leluhur.*